Selasa, 09 Juni 2015
On 08.36 by Zuhdi Amin No comments
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang maha pengasih. Segala puji dan
syukur bagi Allah SWT yang dengan rido-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini
dengan lancar. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan nabi
besar Muhammad SAW yang dengan rido-Nya dan bimbingannya makalah ini dapat
terselesaikan dengan lancar.
Sebagai mahasiswa kami mengharapkan bimbingan dan
bantuan, saran serta dukungan dari bapak dan ibu dosen serta pihak lain agar
makalah ini bisa berhasil dan berguna bagi kita semua.
Tidak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah
ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Metro, Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah…………………………………………………………………… 1
2.
Rumusan Masalah…………………………………………………………………………….
2
3.
Tujuan
Penulisan……………………………………………………………………………… 2
BAB II LANDASAN TEORI
1.
Fenomena Nikah
Siri di Indonesia…………………………………………………….. 3
2.
Definisi Nikah
Siri…………………………………………………………………………… 5
3.
Tata Cara
Pernikahan Siri…………………………………………………………………. 5
4.
Hukum
Pernikahan Siri…………………………………………………………………….. 7
5.
Pengesahan
Pernikahan Siri………………………………………………………………. 16
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan……………………………………………………………………………………..
19
2.
Pendapat
Kelompok………………………………………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa yang diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah
menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan
manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di sini, untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya
seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup
bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat
penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya
serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-syarat untuk
peresmian hidup bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya
perkawinan itu.[1]
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat
penting dalam kehidupan seseorang. Bagi Bangsa Indonesia yang memiliki alam
pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib), ritual perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah
ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang pria dan wanita yang dulunya
merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan
menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara
mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan
perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami
isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk
menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara
pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari
segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara
pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah
serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum
Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah
adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang
lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah
akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun
perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan
hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan
Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia?
2.
Apa
pengertian/definisi dari nikah siri?
3.
Bagaimana tata
cara pernikahan siri?
4.
Bagaimana
kekuatan hukum pernikahan siri ditinjau dari hukum Islam dan hukum yang berlaku
di Indonesia?
5.
Bagaimana cara
melegalkan pernikahan siri?
C. TUJUAN PENULISAN
Dalam penulisan makalah yang berjudul “Nikah Siri”,
memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia.
2.
Untuk
mengetahui definisi dari nikah siri.
3.
Untuk
mengetahui tata cara pernikahan siri.
4.
Untuk
mengetahui kekuatan hukum pernikahan siri dari perspektif hukum Islam dan hukum
Indonesia.
5.
Untuk
mengetahui prosedur pengesahan pernikahan siri.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. FENOMENA PERNIKAHAN SIRI DI
INDONESIA
Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan
yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi
trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga
dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan
istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai
kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah siri sering
ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan
sejumlah alasannya tersendiri.
Mengapa nikah siri menjadi trend di Indonesia? Padahal
jelas pihak wanita yang paling dirugikan, kalau calon suami hanya berniat
melampiaskan hasrat dengan halal. Sayangnya masih banyak wanita yang mau
diperlakukan semena-mena. Mungkin faktor ekonomi atau ingin hidup
senang tanpa harus kerja keras. Apalagi kalau yang mengajak nikah seorang
pejabat atau orang terkenal, banyak wanita manggut-manggut saja. Mereka
baru menyesal setelah dicampakkan lalu berteriak cari perhatian dimedia.
Sebaliknya tak dapat dipungkiri bahwa banyak juga wanita muslim
Indonesia nikah siri dengan orang asing, lalu menikah resmi dan
pernikahan mereka hanya terdaftar di negara suaminya. Mereka hidup rukun
dan damai hingga beranak cucu.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh
negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata
tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya
ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap
perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan
memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan
siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama
atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau
jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat
penting. Keharusan pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan
tetapi merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang
dimiliki seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan di kemudian hari.[2]
Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing, serta perkawinan tersebut harus dicatatkan. Namun dalam
kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama islam, kemudian
syarat pencatatan yang ada agar menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkawinan
itu tetap harus dicatatkan demi terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam
masyarakat. Meskipun suatu perkawinan itu sudah disebut sah apabila sudah sah
secara agama apabila tidak dicatatkan dapat dikatakan perkawinan tersebut
adalah perkawinan secara siri.
Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan
pernikahan siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang
terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat
dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan
pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah
berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah
membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan
pernikahan. Kemudian ada faktor ekonomi dimana
masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya
untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya
ada juga faktor agama dimana nikah
siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan
dosa.
B. DEFINISI NIKAH SIRI
Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi,
nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari
pengetahuan orang banyak. Secara umum Nikah Siri adalah sebuah
perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran
Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya
pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini
Pemerintah yang diwakili Departemen Agama. Nikah siri dalam konteks masyarakat
sering dimaksudkan dalam beberapa pengertian.
Pertama, nikah yang
dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari
kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada
Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas
formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang perkawinan. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada
yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan,
ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
Kedua, nikah yang
dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh
kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak
diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur
menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit
yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
C. TATA CARA PERNIKAHAN SIRI
Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga
perkawinan, sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat
biologis. Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas dibandingkan sekedar hubungan
seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek religius, pada hakekatnya nikah
adalah salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikah yang sarat
nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan
disyariatkannya nikah tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.[3]
Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan
terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Untuk
sahnya perkawinan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat,
yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Adanya calon
suami isteri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab
kabul merupakan rukun atau syarat sahnya suatu pernikahan. Tata cara
menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam
pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya.
1.
Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2.
Adanya ijab
qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu
perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang
menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan
menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang
wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan
lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki
bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
3. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki
yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan
batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah
pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin
yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik mahar adalah
yang paling ringan” (HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
4. Adanya Wali
Dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah
suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Wali yang mendapat prioritas pertama
di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau
tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu
atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat
terdekat yang lainnya atau hakim.
5. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah suatu
pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR.
Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir
oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasulullah SAW, sebelum aqad
nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau
khuthbatul-hajat.
D. HUKUM PERNIKAHAN SIRI
1.
Nikah Siri
Menurut Islam
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal
dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada
saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun
dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu
pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang
menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak
menjadi fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :
وروى أحمد وغيره عن ابن
حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف(
Artinya :
“Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang
haram, adalah adanya tabuhan rebana.”
Secara mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya,
melainkan yang menjadi hal mendasar adalah upaya untuk menyebarluaskan berita
tentang acara pernikahan yang diselenggarakan.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang
sudah dikenal di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa
dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang
dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan
syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan
terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan
sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy. Berikut ini adalah
pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
1.
Menurut
pandangna mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang sarat dan rukunya mka
sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal itu
sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: “Takutlah kamu terhadap
wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah allah dan kamu
halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah (ijab
qabul)” (HR Muslim).
2.
Menurut
terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
هو الذي يو صي فيه الزوج
الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل.
Artinya :
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk
istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri.
Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukumanhad (dera
rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau
dengan kesaksian empat orang saksi.[4]
1.
Sedangkan
menurut kiayi Husein Muhamad seorang komisioner komnas prempuan menyatakan
pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri merupakan pernikahan terlarang
karena pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru
melindungi perempuan bukan malah merugikannya. Menurut kalangan Ulama Syiah
memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik
ketimbang berzinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT. Kalangan Ulama Suni di
Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah siri adalah Halal berdasarkan nash Al
Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan
semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah
sirih itu sendiri.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa
ayat 3).
1.
Ulama terkemuka
yang membolehkan nikah dengan cara siri adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang
pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri
itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.
2.
Dadang Hawari,
mengharamkan nikah siri, sedangkan KH. Tochri Tohir berpendapat lain. Ia
menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah
nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat
dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju
dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan
nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri
semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi tidak berkah.
3.
Menurut Prof.
Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama yang juga mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan
bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih
dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada
tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikah
yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat
dari satu aspek saja maka pincang.[5]
4.
Quraish Shihab
mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui
undang-undang di sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua orang
saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah,
namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena
melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan
setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak
bertentangan dengan hukum Allah.[6] Sesuai
firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada
lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah)
untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan
orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i
(bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan
pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan
keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian
saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan
ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan
pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.
Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut
sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan
telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun
pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang
tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu,
kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di
lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga
pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya
sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama
kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah
wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’i bukan
hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita
tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan
beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan
mereka, walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah
disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 282
:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk
menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakanwalimatul ‘ursy.
Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan
tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda :
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
1.
Nikah Siri
Menurut Hukum di Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun
1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada
pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat
Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya,
maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan .
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan
di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan
tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi mereka yang
beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk
memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II
Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA.
Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan
kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9
tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau
tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan
dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal
143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat
pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam
bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain
kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal
144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara
selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga
mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan).
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus
membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500
juta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa
tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum,
yakni. (1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif (madharrah).
(2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.[7]
E. PENGESAHAN PERNIKAHAN
SIRI
1.
Mencatatkan
Perkawinan Dengan Istbat Nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula
tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki
kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7
yaitu :
1.
Perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2.
Dalam hal perkawinan
tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
3.
Itsbat nikah yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan :
1) Dalam rangka
penyelesaian perceraian. Dalam kasus
ini biasanya menggunakan gugatan komulatif, yaitu pemohon meminta atau memohon
disahkan dahulu perkawinannya, setelah itu mohon diceraikan;
2) Hilangnya
akta nikah;
3) Adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
4) Adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yaitu pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
d. Yang
berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak
mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair tidak
ada unsur sengketa, dikatakan demikian karena hasil dari permohonan
bersifat declaratoir (menyatakan) atau constitutoire (menciptakan)
bukan bersifat menghukum. Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan
memeriksa, dan menyatakan sah atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut,
dalam bentuk penetapan itsbat nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan
dijadikan landasan hukum bagi Kantor Urusan Agama, untuk mengeluarkan Akta
Nikah dengan mencantumkan tanggal perkawinan terdahulu. Namun apabila ternyata
hakim menyatakan bahwa perkawinan terdahulu tidak sah, maka Kantor Urusan Agama
akan menikahkan kembali pasangan suami istri tersebut.
Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak
dan jika telah memiliki akta nikah, harus segera mengurus akta kelahiran
anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata
hukum. Jika pengurusan akta kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas)
hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan
pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian,
status anak dalam akta kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
1.
Melakukan Perkawinan
Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut
agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh
pejabat yang berwenang dalam pencatat perkawinan (KUA). Perkawinannya harus
dicatatkan di muka pejabat yang berwenang, dalam hal ini di Kantor Catatan
Sipil.
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan
status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan
siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang
tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan
ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang lahir
sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang
lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam
perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan
siri tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak,
yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat
dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang undang
No. 1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk
mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan
Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan materi tentang “Nikah Siri” pada bab
diatas dapat disimpulkan :
1.
Akhir-akhir
ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri
sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan
oleh masyarakat umum, Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah
pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya
tersendiri. Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya
kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini
hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan
pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan
peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat
orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan.
Kemudian ada faktor ekonomi dimana
masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya
untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya
ada juga faktor agama dimana nikah
siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan
dosa.
2.
Secara umum
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan
sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang
menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal
oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen
Agama.
3.
Tata cara
menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam
pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya. Yakni adanya kedua calon
mempelai, ijab qabul, wali, dua orang saksi, dan mahar.
4.
Menurut hukum Islam,
perkawinan di bawah tangan atau siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat
dan rukun perkawinannya. Namun dari aspek peraturan perundangan perkawinan
model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan
hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak terpengaruh pada sah
tidaknya perkawinan.[8]
5.
Hukum Indonesia
melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan, (1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dan Pasal 143 RUU menggariskan, setiap orang
yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat
nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga
tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta.
6.
Pernikahan
dibawah tangan atau siri dapat disahkan dengan 2 (dua) cara yakni mengajukan
istbat nikah atau dengan melakukan pernikahan ulang.
B. PENDAPAT KELOMPOK
Berdasarkan landasan teori yang telah kami paparkan,
kami berpendapat bahwa pernikahan siri adalah sah jika syarat dan rukunnya
terpenuhi, namun kita sebagai warga negara yang baik haruslah taat terhadap
hukum dalam hal ini undang-undang perkawinan yang telah pemerintah tetapkan.
Sesuai hadis Nabi SAW :
عَلَيْكُمْ بِا لسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ
Artinya :
“Diwajibkan atas kalian untuk mendengarkan dan taat (kepada
pemimpin) sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak dari habasiyah.”
Karena sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan secara
terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah. Mengenai
sebaian orang yang beranggapan bahwa lebih baik nikah siri dari pada zinah itu
memang benar, namun jika itu hanya untuk menyalurkan hawa nafsu saja itu yang
tidak dibenarkan. Karena pada dasarnya sesuatu yang diawali dengan niat yang
tidak baik, pada akhirnya akan menimbulkan ke-mudharratan.
Maka dari itu, menurut kami perlu ditingkatkan
penyuluhan mengenai isi dari Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, penyuluhan mengenai dampak yang ditimbulkan dari perkawinan
dibawah tangan atau perkawinan siri, penyuluhan mengenai pentingnya pencatatan
perkawinan untuk kehidupan yang akan datang terhadap anak-anak mereka maupun
harta yang mereka peroleh dalam perkawinan di bawah tangan tersebut. Penyuluhan
ini diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaaan
baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, sehingga tujuan perkawinan
untuk membentuk keluarga yang kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Somad. HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah
dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa
‘Adillatuh. Juz VIII. Cet. III. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Amin, Ma’ruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUI
SEJAK 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus
Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum. No. 28. 1996.
Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html.
19/09/2013. 11:31.
Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan
masalahnya.Penerbit : Shantika Dharma. Bandung. 1984.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. Jakarta: Mizan.
1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di
Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah .Cet. II.
Jakarta: Kencana. 2007.
http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia. 19/09/2013. 11:36.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Menggambar Obat Nyamuk Bakar dengan Menu Spiral Tool di CorelDRAW Kali ini aku akan membagi tip cara membuat objek spiral, sebagai obj...
-
kuncinya cukup sabar dan ikhlas seberat apapun beban hidup insya alloh akan terasa ringan
-
Cara Membuat Aplikasi Android dengan Mudah Aplikasi Android (Android APK) adalah hal yang sangat akrab dengan kita, besar sekali permin...
-
Emas Menguat Setelah Kekhawatiran Yunani Memicu Permintaan Haven Tuesday, 9 June 2015 21:41 WIB | PRECIOUS METALS | EMAS Bullio...
-
10 Tips Menjadi Orang Sabar in Psikologi , Tips dan Trik , Tips Sukses - on 18:40 Kesabaran adalah salah satu k...
-
Sampah Plastik, Pengganti Bahan Bakar Kehidupan manusia saat ini tidak terlepas dari penggunaan plastik. Namun disi...
-
kau selalu hadir menghampiriku saat aku menatap y kau menari2 mengikuti irama yg indah dan gerakan sesui bentuk huruf hijaiyah dan t...
-
SEKEDAR MOTIFASI Kalau tujuan akhirmu adalah sebuah nilai dikertas, maka umur dari tujuanmu sama dengan umur tinta printer. semakin lunt...
-
Mengirim pesan Baru di Gmail? Berikut adalah panduan langkah demi langkah tentang menulis dan mengirim pesan: Klik tombol Tulis d...
-
Cara Menulis Huruf Arab di Microsoft Word Windows 8 Postingan kali ini saya akan akan share cara menulis arab di Ms Word windows ...
Recent Posts
Sample Text
Blog Archive
- Juni (70)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar